Profil M. Farhan
Kenalan dulu yuk, dengan calon walikota Bandung
KBRN, Bandung; Calon wali kota Bandung, Muhammad Farhan, menggelar KUUKIR (kukulutus bari mikir) dalam kampanyenya,. Bersama calon wakil wali kota, Erwin, Farhan berkomitmen memberikan ruang kepada generasi muda untuk menyuarakan aspirasi dan keluhan seputar Kota Bandung.
Kampanye dialogis bertajuk ‘kukulutus bari mikir’ (menggerutu sambil berpikir) ini pun merupakan pertemuan yang dilakukan oleh Farhan untuk memantik berpikir kritis generasi muda dalam pemikiran Bandung di masa yang akan datang. Peserta kegiatan yang bertempat di Jalan Anggrek itu merupakan pemilih muda seperti mahasiswa, aktivis, dan pelaku usaha.
Mereka yang hadir bisa menyampaikan apa pun kepada Farhan yang umumnya terkait persoalan di sekitar Kota Bandung. Tanpa ada batasan, Farhan mendapat berbagai keluhan dari para anak muda tersebut, mulai dari kesempatan usaha, kemacetan, hingga infrastruktur yang dianggap masih belum baik.
Dengan lugas dan mendalam, Farhan menjawab satu per satu setiap pertanyaan ataupun keluhan dalam acara yang berlangsung lebih dari 2 jam itu. Adapun KUUKIR edisi perdana ini menghasilkan manifesto yang bertujuan menggairahkan kembali industri kreatif di Kota Bandung.
Pernyataan sikap yang digagas anak muda tersebut yaitu mengembalikan identitas Bandung sebagai kota kreatif, peningkatan infrastruktur dan aksesibilitas kota, serta meningkatkan akses dan keadilan bagi pelaku industri kreatif. Menyikapi manifesto itu, Farhan berkomitmen untuk mengembalikan Bandung sebagai pusat inovasi dan kreativitas.
Selain itu, dia pun berkomitmen membangun Bandung yang aman dan nyaman bagi pelaku usaha dan komunitas kreatif, dengan fokus pada peningkatan infrastruktur dan aksesibilitas. Bahkan, Farhan menjamin ruang kreatif dan bisnis yang aman serta inklusif, agar pelaku usaha lokal dapat beroperasi dengan adil tanpa menghadapi intimidasi atau monopoli.
Sebelum manifesto dibacakan, sejumlah anak muda menyampaikan keluh kesahnya kepada calon wali kota nomor urut 3 tersebut. Salah seorang peserta, Uyul, mengeluhkan hilangnya kreativitas anak muda Bandung yang pada 1990an terkenal melahirkan berbagai kegiatan seperti festival musik indie hingga pakaian.
“Acara musik di Saparua serta bagaimana dulu Bandung menjadi pelopor munculnya clothing (pakaian) lokal. Dulu kita betapa bangganya ketika menggunakan clothing Bandung,” ujar Farhan, Jumat (11/10/2024).
Padahal, pemilik kafe kopi ini menyebut berbagai kreativitas saat itu berjalan dengan sendirinya tanpa bantuan dari pihak manapun termasuk pemerintah. “Tapi sekarang hilang, ingin nonton band sudah enggak ada,” katanya.
Dia pun berharap pemerintah mengambil peran agar berbagai kreativitas itu bisa kembali lahir di Kota Bandung. “Kayaknya ingin mengembalikan Bandung ke tahun 2000-an awal,” kata dia.
Tidak jauh berbeda disampaikan Uji, pemilik galeri seni lukis di kawasan Jalan Braga. Dirinya mengeluhkan kemacetan di Kota Bandung yang saat ini sudah semakin parah.
“Apalagi kalau weekend. Di weekday aku bisa sehari ke tujuh lokasi, di weekend enggak bisa,” paparnya.
Walaupun, pada sisi lain dirinya bersyukur karena kemacetan ini pertanda tumbuhnya pariwisata di Kota Bandung. “Di sisi lain saya bersyukur juga, pariwisata Bandung naik. Tapi apakah kemacetan ini akan jadi bumerang,” ucapnya.
Peserta lainnya, Bimo Nugroho, mengeluhkan masih minimnya infrastruktur untuk pertunjukan seperti pameran, festival musik, dan lainnya. Dia berharap Kota Bandung memiliki tempat representatif untuk menggelar berbagai acara, seperti kawasan Gelora Bung Karno di Jakarta.
“Kami ini setiap mau bikin acara di Bandung suka kebingungan, tempatnya di mana?” kata dia. Farhan memahami betul apa yang menjadi keluhan para anak muda tersebut.
Terlebih, dirinya menjadi bagian generasi 1990-an yang berhasil menciptakan berbagai kreativitas di Kota Bandung kala itu. “Persoalan-persoalan ini menjadi tantangan. Kreativitas dari Kota Bandung memang lagi berkurang,” kata dia.
Tak lagi menjadi pelaku, Farhan pun meyakinkan peserta yang hadir melalui kebijakannya nanti ketika terpilih menjadi wali kota Bandung. Menurutnya, pemerintah harus mendukung lahirnya kreativitas dengan menciptakan ekosistem sehingga akan lebih menguatkan.
Ia pun menyontohkan awal mulanya Jalan Cihampelas menjadi pusat penjualan jeans di Kota Bandung. “Dulu di situ ada semacam konveksi yang membuat jeans untuk merek terkenal asal luar negeri. Tapi barangnya di-reject karena ada sedikit yang kurang baik,” katanya.
Akhirnya, sang pemilik menjual langsung jeans produksinya itu ke masyarakat di garasi konveksi tersebut. “Sehingga terkenal lah, karena ada jeans merek terkenal yang dijual murah,” tuturnya.
Melihat peluang tersebut, lanjut Farhan, wali kota Bandung saat itu, Ateng Wahyudi, langsung membuat ekosistem sehingga lahirlah pusat penjualan jeans di kawasan Jalan Cihampelas. “Itulah bagaimana pentingnya menciptakan ekosistem,” paparnya.
Terkait kemacetan, Farhan menilai salah satu solusinya dengan menciptakan gedung khusus sehingga parkir kendaraan akan terkonsentrasi di satu tempat. “Parkir di pool di satu titik, Jalan Riau misal,” kata dia.
Dengan adanya gedung parkir khusus, dia meyakini hal ini bisa mengatasi kemacetan yang diakibatkan parkir kendaraan di badan jalan. “Dengan parkir di satu titik, akan membiasakan masyarakat untuk berjalan kaki. Kalau hujan, kan ada payung,” katanya.
Di gedung-gedung parkir itu pun, menurutnya bisa diciptakan pusat perekonomian yang diharapkan bisa menyejahterakan masyarakat. “Bikin gedung parkir berlantai-lantai. Di setiap lantai ada tempat usaha, kantin misalnya. Nanti PKL pun bisa ditata di sana,” tandasnya.